Pada kali ini mau posting tentang Ilmu dulu, dari pada update, lainnya, hahaha
Dalam konteks ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memeroleh kepuasan dalam konsumsinya. Dalam konteks utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen untuk konsumsi sebuah barang. Jadi kepuasan akan dianggap sama, meski sebenarnya adalah akibat dari utilitas.
Terdapat
dua hal yang dapat dikritisi dari konsumsi pada ekonomi konvensional. Pertama
adalah tujuan konsumen memperoleh kepuasan tertinggi, pertanyaannya di sini
apakah semua barang memuaskan di sini selalu identik dengan barang-barang yang
membawa manfaat atau tidak. Kedua adalah batasan konsumsi hanyalah kemampuan
anggaran. Dengan kata lain sepanjang dia memiliki pendapatan, maka tidak ada
yang bisa menghalanginya untuk mengonsumsi barang yang diinginkan. Sikap ini
jelas akan menafikan pertimbangan kepentingan orang lain dan aspek lain seperti
kehalalan. Konsumsi yang islami selalu berpedoman pada ajaran Islam. Dimana
lebih mengacu ke kemaslahahan.
A. Mashlahah
dalam konsumsi
Kandungan
dari mashlahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam hal
perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah
yang dihasilkan dari kegiatan konsumsi. Konsumen akan merasakan adanya suatu
kegiatan konsumsi ketika dia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis
atau material.
1) Kebutuhan
dan keinginan
Ajaran Islam
tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya. Selama
dengan kebutuhan tersebut maka martabat manusia tersebut dapat meningkat. Semua
yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia
diperintahkan untuk mengonsumsi barang dan jasa yang halal bauj secara wajar
atau tidak berlebihan.
2) Mashlahah
dan kepuasan
Berbeda dengan
kepuasan yang bersifat individualis, mashlahah tidak bersifat individualis.
Mashlahah bisa dirasakan selain konsumen, yaitu dirasakan oleh sekelompok
masyarakat misalnya ketika seseorang membelikan makanan bagi tetangga miskin.
Di sini mashlalah fisik akan dinikmati tetangga miskin. Sementara si pembeli
atau konsumen akan dapat berkah.
3) Mashlahah
dan nilai-nilai ekonomi Islam.
Di mana
perekonomian islam akan terwujud jika prinsip dan nilai-nilai Islam diterapkan
bersama-sama. Pengabaian terhadap salah satunya akan membuat pincang. Penerapan
prinsip ekonomi yang tanpa diikuti pelaksanaaannya hanya akan member manfaat
duniawi sedangkan pelaksanaan prinsip dan nilai akan melahirkan manfaat dan
berkah atau mashlahah dunia akhirat.
4) Penentuan
dan Pengukuran Mashlahah bagi konsumen.
Dapat
ditagsirkan bahwa mashlahah yang diterima akan merupakan perkalian antara
pahala dan frekuensi kegiatan. Demikian pula dalam konsumsi, besarnya berkah
yang diterima tergantung pada frekuensi konsumsinya, semakin banyak barang
halal thayyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang
diterimanya.
B. Hukum
utilitas dan Mashlahah
1) Hukum
mengenai Mashlahah
Mashlahah dalam
konsumsi tidak seluruhnya dapat dirasakan, terutama dalam mashlahah akhirat
atau berkah. Dalam hal berkah dalam meningkatnya frekuensi kegiatan maka tidak
aka nada penurunan berkah karena ibadah pahala yang diberikan atas ibadah
mahdhad tidak pernah menurun. Sedangkan mashlahah dunia akan meningkat dengan
meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami
penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia adalah
terbatas sehingga ketika konsumsi dilakukan secara berlebihan akan menyebabkan
hal seperti di atas.
a. Mashlahah
marginal dari ibadah mahdhah
Mashlahah
marginal adalah konstan, maka seorang konsumen mumin tidak akan mengalami
kebosanan dalam ibadah mahdah.
b. Mashlahah
Marginal dari Konsumsi
Melakukan
kegiatan konsumsi bisa datangkan dosa atau pahala. Dengan adanya aspek ibadah
dalam konsumsi maka kegiatan tersebut menimbulkan berkah. DI sisi lain di dalam
islam melarang adanya subsitusi maupun komplementari. Oleh karena itu, tingkat
mashlahah yang mengonsumsi barang haram adalah negative.
2) Hukum
Penguatan kegiatan dari Mashlahah.
a. Keberadaan
berkah akan memperpanjang rentang dari suatau kegiatan konsumsi,
b. Konsumen
yang merasakan adanya mashlahah dan menyukainya akan tetap rela melakukan suatu
kegiatan meskipun manfaat dari kegiatan tersebut berdirinya sudah tidak ada.
C. Keseimbangan
konsumen
1. Keterkaitan
antar barang
a. Komplemen,
Hubungan yang
bersifat komplemen ini mempunyai derajat atau tingkatan yang berbeda-beda
antara pasangan barang yang satu dengan lainnya, hal ini disebabkan karena
sifat barang yang terkait dengan kegunaan barang yang bersangkutan.
b. Subtitusi
Hubungan kedua
barang bersifat negative jika jumlah konsumsi barang yang satu naik, maka
jumlah konsumsi lain turun. Hubungan negative di sini terjadi karena adanya
penggantian barang satu dengan lainya, misalnya disebabkan karena kelangkaan
barang.
2. Hubungan
antar barang yang dilarang adalm Islam
a. “Islam
melarang adanya penggantian dari barang atau transaksi yang halal dengan barang
atau transaksi yang haram”
b. “Islam
melarang mencampur adukkan barang atau transaksi yang halal dengan transaksi
yang haram”
3. Hubungan
antar barang dalam Islam
Berapa pun
barang halal yang dikonsumsi maka jumlah barang haram yang dikonsumsi adalah
tetap nol
4. Permintaan
konsumen
1. Mashlahah
sebagai jalan menuju falah
2. Dengan
membandingkan dua barang halal subtitusi, maka seorang konsumen dalam memilih
barang yang dikonsumsinya akan mempertimbangkan jumlah mashlahah total yang
akan diperolehnya paling tinggi.
D. Hukum
Permintaan dan penurunan pada kurva permintaan
Bahwasanya
ketika barang A naik, sementara hal-hal lain tetap konstan maka jumlah barang A
yang dikonsumsi harus turun. Dalam ceteris paribus di sini adalah dengan
menganggao hal-hal lain tetap tidak berubah atau konstan, baik dalam arti
tingkat berkah, tingkat manfaat, tingkat pendapatan, preferensi dan sebagainya.
PERILAKU
PRODUSEN
1. Pengertian
produksi secara islam
Kegiatan
produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya akan mengerucut pada
manusia dan eksistensinya, meskipun pada umumnya definisi-definisi produksi
dalam konteks ekonomi islam berusaha mengelaborasi dari perspektif yang
berbeda. Kepentingan manusia yang sejalan dengan moral Islam harus jadi target
dari kegiatan produksi. Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan
mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi
manusia. Oleh karena itu produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan
menghasilkan output serta karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.
2. Tujuan
Produksi menurut Islam
Secara spesifik
menurut Islam tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang
bisa diwujudkan diantaranya:
a. Pemenuhan
kebutuhan manusia pada tingkatan moderat
b. Menemukan
kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
c. Menyiapkan
persediaan barang/jasa di masa depan
d. Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah
3. Motivasi
produsen dan berproduksi
Motivasi yang
seharusnya sesuai dengan pandangan ekonomi Islam adalah mashlahah maximize.
Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak
dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.
Dalam pandangan
islam kerja bukanlah sekedar aktivitas yang bersifat duniawi, tetapi memiliki
transdensi. Kerja merupakan sarana untuk mencari penghidupan serta mensyukuri nikmat
Allah yang dibberikan kepada makhluk-Nya.
4. Nilai-nilai
Islam dalam produksi,
Nilai utama dari
ekonomi islam terkait produksi adalah khilafah, adil, dan takaful. Secara rinci
nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
a. Berwawasan
jangka panjang
b. Menepati
janji dan kontrak
c. Memenuhi
takaran
d. Berpegang
teguh pada takaran, ketepatan, lugasan, dan kebenaran
e. Memuliakan
prestasi dan produktivitas
f. Mendorong
ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi
PENAWARAN ISLAMI
Membahas teori penawaran islami, kita harus kembali
kepada sejarah penciptaan manusia. Bumi dan manusia tidak diciptakan pada saat
yang sama, bumi berevolusi sedemikian rupa sampai akhirnya dapat ditinggali
oleh manusia. Manusialah yang pertama kali diciptakan dan diturunkan ke bumi.
Dari refleksi ini Allah SWT, telah mempersiapkan bumi ini utuk kepentingan
manusia. Seperti tercantum dalam surat Ibrahim ayat 32-34 yang artinya:
“Allah-lah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah)”.
Firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 yang
artinya:
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Dalam memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah
bagi keperluan manusia, larangan yang harus dipatuhi adalah “janganlah kamu
membuat kerusakan dimuka bumi”. Larangan ini terdapat di banyak sekali ayat
alquran. Dari sini sangat terlihat bahwa Allah sangat membenci mereka yang
berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun definisi kerusakan dangat luas, dalam
kaitannya dalam produksi, larangan tersebut member arahan nilai dan panduan
moral. Dengan kata lain, produksi dalam islam bagi barang-barang yang dapat
menyebabkan kerusakan itu tidak diperbolehkan.
Terimakasih mas atas infonya, sangat membantu dalam menambah referensi tugas..
ReplyDelete