Jamaluddin Al-Afgani adalah tokoh muslim yang kisahnya tak hanya terkenal di negara-negara Islam, namun negara-negara non muslim pun terkenal. Jamaluddin Al-Afgani merupakan muslim yang hali di dalam bidang politik, di sini membawa bahwa negara Islam adalah negara yang diakui di mata dunia, dan menghapuskan Islam hanya berfokus pada ketuhanan.
Muhammad Abduh adalah tokoh muslim yang beberapa pembaruannya kuat dari faktor sosial, budaya, politik, dsb. Keberadaannya dalam dunia Islam adalah menyejajarkan dengan orang barat dalam ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu inilah makalah mengenai keduanya.
III.I. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897. Berdasarkan beberapa beliau sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang, khususnya orang Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani. Jamaluddin Al-Afghani memiliki pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi, ahli hadist yang terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Sebagai seorang pembaharu pemikiran muslim, Al-Afghani menguasai berbagai bahasa asing diantaranya bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
Pendidikan Jamaluddin Al-Afghani sejak kecil sudah diajarkan mengaji Al-Qur’an dari ayahnya sendiri, di samping bahasa Arab dan ilmu Sejarah. Ayahnya mendatangkan seorang guru ilmu tafsir, hadits, dan fiqih yang dilengkapi dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan, beliau kemudian dikirim ke India untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Eropa).
Hingga usia 18 tahun, beliau dibesarkan dan menuntut ilmu di Kabul. Ketertarikannya adalah studi filsafat dan matematika. Menjelang usia 19 tahun, beliau pergi ke India selama lebih dari satu tahun. Kemudian dari India beliau menuju Mekkah untuk beribadah haji. Setelah selesai beribadah haji, dari Mekkah beliau kembali ke tanah airnya. Ketika berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 beliau menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian beliau diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Pada saat itu Inggris sudah ikut campur dalam urusan negeri Afghanistan, Jamaluddin Al-Afghani termasuk salah satu orang yang menentang Inggris. Oleh karena kalah melakukan perlawanan terhadap Inggris beliau memutuskan lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi menuju India pada tahun 1869. Di negeri jiran inipun beliau juga tidak tenang karena karena negeri itu dikuasai oleh Inggris, beliau kemudian pindah ke Mesir pada tahun 1871. Beliau menetap di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya adalah Muhammad Abduh.[4]
Di Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Beliau berhasil membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) di sana dan mendengungkan Mesir untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan penguasa Mesir Khadewi Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan pembaharuan di Mesir. Tetapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
Jamaluddin Al-Afghani meninggalkan Mesir menuju Paris dan mendirikan perkumpulan Al-Urwatul Wustqa, sesuai dengan majalah yang diterbitkan oleh kelompok itu, pengaruhnya tersebar di dunia sampai ke Indonesia. Majalah ini terbit hanya 18 nomor saja selama 8 bulan dari tanggal 13 Maret 1884 – 17 Oktober 1884. Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain untuk mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai kemenangan dan menghilangkan rasa putus asa, mengajak berpegang pada ajaran yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, dan menolak anggapan yang dituduhkan kepada umat Islam bahwa mereka tidak akan maju bila masih berpegang pada agamanya, menyebarkan informasi tentang peristiwa politik dan untuk memperkokoh persahabatan di antara umat Islam. Akhirnya majalah tersebut dilarang beredar di dunia Islam yang berada di bawah pengaruh barat.
Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan politik antara Persia dengan Rusia yang timbul karena politik pro-Inggris yang dianut pemerintah Persia ketika itu. Bersamaan dengan itu Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya dia mengajurkan perombakan sistem politik-nya yang masih otokratis, sehingga timbul pertikaian antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Pada tahun 1892, undangan yang sama dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk kepentingan politik Islam Istambul dalam menghadapi kekuatan Eropa. Menurut Afghani, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu sistem politik dalam negerinya. Rupanya, pandangan politik Afghani yang sangat demokratis tidak bertemu dengan kepentingan politik Sultan yang otokratis. Sejak itu sampai akhir hayatnya, 9 Maret 1897, Afghani dicabut izin keluar negerinya. Kelihatannya Jamaluddin Al-Afghani menjadi tamu terhormat kerajaan Turki Usmani tetapi hakikatnya ia menjadi tawanan Sultan Abdul Hamid II yang berdiam di “sangkar emas” istananya.[5]
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
III.II. Pembaruan Jamaluddin Al-Afghani
Pemikiran Politik Jamaluddin Al-Afghani
Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam khususnya. Sebagai bentuk solusi untuk mengatasi semua tersebut menurut pendapat Jamaluddin Al-Afghani, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Beliau juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, hingga tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Beliau berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.[6] Selanjutnya adalah bagaimana ide-ide pembaruan dan pemikiran politik Al-Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
1) Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[7] Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, maka bentuk demikian pun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Makna yang terkandung dijelaskan bahwa apa pun bentuk pemerintahannya, Muhammad Abduh menghendaki pemerintahan yang dinamis. Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab kemunduran politis yaitu pemerintah absolut.[8]
2) Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absolut dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Alasan tersebut membuat Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolut diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.[9]
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Di suatu pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman. Hal ini disebabkan pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.[10]
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.[11]
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.[12]
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
3) Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.[13]
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Beliau menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga beliau menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas. Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui adanya kepala negara di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya Al-Afghani adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.
Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi beliau masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.[14]
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak berhasil.
Pengaruh Jamaluddin Al-Afghani
Seperti sudah disebutan, Al-Afghani menyuarakan gagasan seperti Pan-Islamisme. Sebenarnya gagasan seperti itu juga pernah disuarakan oleh Usmaniah Muda, tetapi sangat kurang pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa yang bahasanya bukan turki. Sedangkan Al-Afghani mempublikasikan tulisan dalam bahasa Arab dan Persia sehingga penulis-penulis terkemudian banyak menyebutkan bahwa Al-Afghani merupakan pembaharu internal.
Ide pembebasan dari kendali barat, merupakan tujuan perjuangan politik Al-Afghani yang paling populer. Ucapan-ucapan Al-Afghani banyak dikutip oleh kaum modernis Islam, nasionalis, maupun Islam kontemporer yang mendukung kebebasan seperti itu. Al-Afghani juga menarik bagi aktivis terkemudian karena kehidupan politiknya yang luar biasa. Muslim maupun barat pernah memiliki kontak dengan Al-Afghani. Penulis Barat seperti E.G. Brown dan Wilfred Blunt membuat tulisan yang isinya membuat pengakuan dan memuji Al-Afghani semakin memperkuat posisi Al-Afghani di dunia muslim. Fakta bahwa Al-Afghani telah mempesona dan bahkan berdebat dengan orang-orang barat terkemuka membuat sosok Al-Afghani semakin penting di mata intelektual muslim. Akhirnya popularitas Al-Afghani yang berkelanjutan terjadi karena dia dipandang berbahaya oleh orang-orang barat. Namun ada penilaian bahwa pengaruh Al-Afghani lebih berdasarkan pada biografi yang pada umumnya mitos dan interpretasi atas gagasan-gagasannya.
Letak kebesaran Al-Afghani bukanlah sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh dan daya baca zaman yang tajam. Kebesarannya terletak terutama dalam peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat Islam menghadapi barat, dan pemberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia ini.
Albert Hourani, misalnya memberikan komentar bahwa Al-Afghani adalah seseorang yang karangannya tidak banyak dikenal tetapi pengaruh kepribadiannya amat besar.[15] Bahkan ide-ide Al-Afghani masih memberikan warna pada gerakan kontemporer Islam, seperti Gerakan Kiri Islam yang dimotori oleh Hassan Hanafi. Pada tahun 1981, Hanafi menerbitkan Jurnalnya, Al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), sebagai tanda awal gerakannya. Menurutnya jurnal tersebut adalah kelanjutan dari Al-Urwah al Wutsqa yang pernah diterbitkan oleh Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Tujuan jurnal tersebut menurut Hanafi , adalah berjuang melawan kolonialisme dan keterbelakangan, berjuang untuk mewujudkan kebebasan, keadilan sosial dan menyatukan dunia Islam.[16]
Dengan demikian jelas sekali bahwa ide-ide Al-Afghani masih menginspirasi pemikir-pemikir Islam kontemporer dalam menghadapi tantangan umat Islam meskipun dalam konteks dan situasi zaman yang telah berbeda.
Sebagai seorang aktivis politik, nampaknya Al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan (pidato) daripada dalam tulisan, sekalipun begitu, karya tulisnya yang tidak terlalu banyak tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman modern. Beberapa tulisannya bernada pidato yang amat bersemangat, menggambarkan penilaiannya tentang betapa mundurnya umat islam dibanding dengan bangsa eropa yang telah beliau saksikan. Tulisan-tulisannya yang tersebar dalam bahasa Arab dan persia telah mengilhami berbagai gerakan revolusioner Islam melawan penjajahan dan penindasan barat. Karena pada dasarnya Al-Afghani adalah seorang revolusioner politik, ia mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa kalimat-kalimat yang bersemangat dan ungkapan-ungkapan kunci, tanpa elaborasi intelektual yang lebih jauh.
Muhammad Abduh, muridnya yang paling utama yang menjabarkan pemikiran-pemikiran kunci Al-Afghani setelah Abduh berpisah dari gurunya itu karena hendak meninggalkan dunia politik dan lebih mencurahkan diri kepada bdang keilmuan dan pendidikan. Dari Muhammad Abduh-lah substansi pemikiran Al-Afghani menemukan formulasi intelektual yang lebih jauh. Melalui Abduh gagasan pembaruan pemikiran keagamaan menyebar di dunia Islam. Abduh mengajukan argumentasi tentang keharusan membuka kembali pintu ijtihad untuk selamanya, dan dengan keras menentang sistem penganutan tanpa kritik (taqlid). Substansi ide-ide itu sebelumnya juga pernah dikemukakan oleh Al-Afghani dalam makalahnya.[17] Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan apa yang dikemukakan oleh Abduh, kemudian Rasyid Ridha dan para pemikir modernis lainnya memiliki benang merah pemikiran pembaruan Al-Afghani.
III.III Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M di sebuah desa agraris. Bapaknya bernama Abduh Hasan Hairullah. Pertama kali ia belajar dan memperoleh pendidikan yang diselenggarakan di masjid. Setelah dapat membaca dan menulis dia dikirim pada seorang hafidz hingga pada usia dua belas tahun ia sudah mampu menghafal Alquran secara keseluruhan. Tahun berikutnya ia melanjutkan pendidikan ke Thana lembaga pendidikan di Masjid Nabawi. Muhammad Abduh kemudian meneruskan pendidikannya di Perguruan Tinggi Islam “Al Azhar” di Kairo. Beliau menamatkan kuliahnya pada tahun 1877.
Pada tahun 1869 Jamaluddin Al Adghany datang ke Mesir, kemudian ia bertemu dengan Muhammad Abduh. Setelah pertemuan itu Abduh tertarik Al Afghany dengan ilmu dan cara berpfikirnya yang modern. Sejak saat itulah Muhammad Abduh mengagumi sosok Al Afghani dan selalu berada disampingnya. Dari Al Afghani beliau mendapatkan pemikiran-pemikiran yang lebih maju dan tidak kolot.
Setelah lulus kuliahnya pada tahun 1877 Muhammad Abduh diangkat menjadi dosen Darul Ulum, tidak hanya itu beliau juga menjadi dosen di Al-Azhar. Ketika memangku jabatan sebagai dosen, Muhammad Abduh ingin mewujudkan cita-citanya yaitu member angin segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam ini. Beliau memberikan metode-metode baru dan pemikiran-pemikiran baru yang lebih maju.
Pada tahun 1879 setelah pergantian pemerintahan yaitu Khedive Ismail digantikan anaknya yaitu Taufiq Pasya. Pemerintahn ini lebih buruk dan akhirnya memecat Abduh serta mengusir Al Afghani dari mesir. Akan tetapi pada tahun berikutnya beliau diberi tugas kembali oleh Pemerintah sebagai pemimpin majalah “Al Waka’I Al Mishriyah” dan sebagi pembantunya diangkatlah Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian akan menjadi pemimpin Mesir yang termahsyur. Jabatannya yang baru ini memberikan kesempatan untuk beliau dapat mencurahkan isi hatinya melalui artikel-artikel yang dapat ia tulis, serta beliau dapat mengkritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Tahun 1882 terjadi pemberontakan di Mesir, pemberontakan ini dipimpin oleh Arabi Pasya da Abduh dianggap menjadi penasihatnya. Setelah pemberontakan dapat dipadamkan Muhammad Abduh dibuang keluar negeri dan beliau menilih Syria (Beirut). Disini beliau mendapat kesempatan mengajar di Perguruan Tinggi Sulthaniyah, kurang lebih satu tahun. Permulaan tahun 1884 Muhammad Abduh pergi ke paris atas panggilan Al-Afghani.
Bersama Al Afghany mereka menyusun sebuah gerakan bersama “Al ‘Urwatul Wutsqa”, yaitu gerakan kesadaran umat islam sedunia. Organisai ini juga membuat majalah yang bernama sama dengan nama organisasi ini. Melalui majalah ini diberikanlah sebuah pencerahan ke seluruh dunia Islam di dunia. Namun dengan tempo yang singkat majalah ini dapat memperlihatkan pengaruhnya terhadap kalangan Muslim di seluruh dunia. Kaum Imperalis akhirnya menjadi gempar dan cemas, kemudian Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India. Di tahun 1884 ketika majalah tersebut baru terbit 18 nomor, pemerintah Perancis melarangnya terbit. Kemudian Abduh pulang ke Mesir dan Al-Afghani mengembara ke Eropa kemudian ke Moskow.
Pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk menjadi “Mufti” Mesir yaitu suatu jabatan paling tinggi dipandang oleh kaum Muslim. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya yang membatasi hanya sebagai alat penjawab pertanyaan pemerintah saja namun Abduh memperluas tugasnya itu untuk kepentingan kaum Muslim. Setiap ada permasalahan yang dihadapi kaum Muslim dan dihadapkan kepada Abduh beliau siap melayani dengan senang hati dan diselesaikan dengan baik. Disamping sebagai Mufti ia juga ditunjuk menjadi Anggota Majelis Perwakilan (Legislative Council). Abduh juga pernah diserahi tugas sebagai Hakim Mahkamah, dan beliau dikenal sebagai hakim yang adil.
Muhammad Abduh menjadi seorang pembela Islam yang berani, beliau sering membela Islam ketika Islam dihina dan direndahkan. Diantaranya ditantangnya G. Hanotaux yaitu Menteri Luar Negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar. Akhirnya kemudia G. Hanotaux seolah-olah minta maaf melalui tulisannya yang dimuat dalam majalah “Al Muayyad”. Kemudian perlawanan Abduh lainya melalui tulisan yaitu ketika Farah Anton seorang pemimpin majalah “Al Jami’ah” sebuah majalah Kristen yang terbit di Kairo menulis hal-hal yang menyinggung Islam dan menhinanya. Banyak lagi peristiwa yang menunjukan kebaranian Abduh dalam membela Islam. Pada tahun 1904 ia mendapat gelar Cum Laude dari Al-Azhar. Namun gelar tersebut sudah sangat terlambat 26 tahun setelah ia lulus dari Al-Azhar. Setahun kemudian, tahun 1905 Muhammad Abduh akhirnya wafat.
III.IV Pembaruan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh sebagai seorang pemikir muslim banyak mengeluarkan ide atau gagasan yang bernapaskan pembaharuan. Kondisi masyarakat Islam pada masa itu masih mengacu pada pemikiran-pemikiran lama yang tidak berlandasakan pada analisis kemajuan zaman. Berikut pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh :
1) Pembaharuan Bidang Pendidikan
Al-Azhar mulai dikenal pada masa dinasti Fatimiyah menguasai Mesir , pada paro kedua abad ke-10.[18] Tepatnya pada tahun 359 H/970 M, Khalifah al-Muiz Lidinillah (341-365 H / 953-975 M) memerintahkan panglima Jauhar al-Katib as-Siqili agar meletakan batu pertama bagi pembangunan Masjid Jami’ al-Azhar yang selesai pembangunannya pada tahun 361 H / 971 M.[19]
Semula ide para penguasa daulah Fatimiyah untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar di al-Azhar adalah karena dorongan kepentingan madzhab. Namun gagasan ini kemudian berkembang sehingga lembaga pendidikannya berubah menjadi sebuah perguruan tinggi.
Pada tahun 365 H/975 M untuk pertama kalinya dimulai kegiatan ilmiyah yang sederhana materinya adalah prinsip-prinsip fiqih syiah yang terkandung dalam buku al-Ikhtisar atau al-Iqsar yang ditulis oleh orang tua Abu Hasan an-Nu’man. Kemudian atas usulan mentri Ya’kub bin Killis (Ibnu Killis) perkuliahan itu dilaksanakan secara kontinyu.
Jabatan Syekh al-Azhar dibentuk pada tahun 925 H / 1517 M. Sejak itu, Syekh al-Azharlah orang pertama yang berhak memberikan penilaian atas reputasi ilmiyah bagi tenaga pengajar, mufti dan hakim. Sedang sistem pengajaran dipakai di al-Azhar adalah sistem halaqah (kelompok studi dalam bentuk lingkaran dalam masjid) yang menggunakan syarah niqasi (diskusi) dan hiwar (dialog).[20]
Pada bulan Februari 1872 M mulai ada pengembangan di al-Azhar yaitu pada masa kepemimpinan Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi Syekh (rektor) al-Azhar ke 21, Ia memasukan sistem ujian untuk mendapat ijazah al-Azhar. Selanjutnya seiring perkembangan zaman al-Azhar mengalami pengembangan-pengembangan termasuk pada kepemimpinan Syekh Muhammad Abduh.
Karir Muhammad Abduh sendiri dimulai setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas al-Azhar, Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya yaitu memasukan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru baru sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan kesusastraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang hidup dan kaya raya serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Tidak itu saja ia mengkritik politik pemerintah pada umumnya, terutama sekali politik pengajarannya yang menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajah asing.[21]
Di al-Azhar sendiri Ia mengajar logika, teologi dan filsafat, etika dan sejarah. Untuk etika dipilihnya buku Tahzib al-Akhlaq (pembinaan akhlaq) karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Eropa karangan F.Guizot untuk pelajaran sejarah. Dalam mengajar Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis dan rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat[22] dan menjauhi paham patalisme karena paham ini harus dirubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali.[23]
Ketidakkritisan dan fatalisme umat Islam menyebabkan kemunduran umat, kelemahan umat, stagnasi pemikiran umat, absennya jihad umat, absennya kemajuan kultur umat dan tercabutnya umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam.[24]
Poin-poin tersebut diatas pada dasarnya menunjukan krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut.[25] Krisis tersebut penyebabnya adalah salah satunya dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu ,sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural dan peradaban.
Kondisi tersebut diatas yang menimpa umat Islam secara keseluruhan pada abad ke-12, juga menimpa al-Azhar, dimana al-Azhar dikuasai oleh ulama-ulama konservatif yang membawa al-Azhar terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan, mereka lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supermasi fiqih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain.
Kondisi al-Azhar tersebut menggugah Muhammad Abduh untuk mengadadakan perubahan-perubahan. Dia yakin bahwa apabila al-Azhar diperbaiki, kondisi umat Islam akan baik. Menurutnya apabila al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan didalamnyapun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.[26]
Untuk mewujudkan cita-citanya yaitu mengadakan kemajuan al-Azhar, Muhammad Abduh berusaha mencari dukungan ulama-ulama al-azhar dan tokoh-tokoh lain termasuk al-Khudaywi untuk merestui rencananya itu, namun dia gagal.[27]
Ketika Abbas Hilmi naik kepentas kekuasaan, dia mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah panitia yang mengatur al-Azhar. Dalam kepanitiaan itu Muhammad Abduh mewakili pemerintah dan menjadi pemerkasanya.[28] Kesempatan ini digunakan Muhammad Abduh dengan sebaik-baiknya untuk mereformasi kondisi al-Azhar, usahanya ini didukung oleh Syekh an-Nawawi yang merupakan teman akrabnya.[29] Adapun pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan al-Azhar adalah :
1. Menaikan gaji guru-guru atau dosen-dosen yang miskin.
2. Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosen-dosen dan mahasiswanya.
3. Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar (Idarah al-Azhar).
4. Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
5. Mengangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh al-Azhar.
6. Mengatur hari libur, dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebih panjang.
7. Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi diusahakan dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
8. Menambahkan mata pelajaran berhitung, aljabar, sejarah Islam, bahasa dan sastra serta prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.[30]
Usaha pembaharuan Muhammad Abduh mengalami kegagalan terutama usahanya menghilangkan dikotomi pendidikan, setelah al-Khudaywi Abbas berbalik menolak upaya perbaikan terhadap al-Azhar dan mendukung orang-orang yang kontra dengan Muhammad Abduh. Syekh Muhammad Abduh akhirnya dipecat dari kepanitiaan tersebut dan al-Azharpun kembali kepada keadaan semula dengan kurikulum lamanya.[31]
Walaupun Muhammad Abduh pada saat itu belum berhasil memperbaiki kondisi al-Azhar karena banyak penetangan dari ulama-ulama al-Azhar yang konservatif tetapi usaha pembaharuannya sangat berpengaruh pada dunia Islam hingga sekarang.
2) Pembaharuan Bidang Kenegaraan
Ketertarikan Muhammad Abduh pada dunia politik dimulai semenjak perkenalannya dengan seorang tokoh pembaharu yaitu Jamaludin Al Afgani pada tahun 1870 ketika masih menjadi mahasiswa di al-Azhar.[32] Sewaktu Al-Afgani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi tawfiq, Muhammad Abduh dipandang ikut campur dalam soal ini, ia dibuang keluar Kairo tapi ditahun 1880 ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah “Al-Waqi’ Al-Misriyah”.[33]
Al Waqi’ Al-Misriyah, surat kabar resmi pemerintah dibawah pimpinan Muhammad Abduh mempunyai peranan penting dalam perjuangan rakyat Mesir melawan kolonial, surat kabar bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan Mesir dan senantiasa mendorong rasa nasionalisme rakyat Mesir untuk membela negaranya.[34]
Setelah Urabi Pasya dari golongan nasionalis sepenuhnya dapat mengontrol dan menguasai tentara Mesir dari perwira-perwira Turki dan Sarkas, Inggris tidak berkenan dan menganggap berbahaya bagi kepentingannya di Mesir, untuk itu mereka ingin menjatuhkan Urabi Pasya dengan mengebom Alexandria dari laut pada tahun 1882. Pengeboman Inggris atas Alexandria mendapat perlawanan sengit dari kaum nasionalis walaupun pada akhirnya kaum nasionalis dapat dikalahkan pasukan Inggris, Mesirpun jatuh dibawah kekuasaan Inggris.[35]
Dalam revolusi Urabi Pasya itu, Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Dia bersama-sama pemimpin lainnya ditangkap, dipenjarakan dan kemudian dibuang keluar negeri pada tahun 1882. Pertama di Bairut Libanon kemudian di Paris. Pada tahun1884 ia bersama-sama Jamaludin Al-Afgani mendirikan majalah “AL-Urwatul Wutsqa” di Paris.[36]
Melalui majalah ini ia bersama Jamaludin Al Afgani menyusun gerakan bernama Al-Urwatul Wutsqa yaitu gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkannya suara keinsyapan keseluruh dunia Islam supaya mereka bangkit dari tidurnya melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot serta bersatu membangun kebudayaan dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Suara itu lantang sekali kedengarannya dan dengan pesat menggema keseluruh dunia, memperlihatkan pengaruhnya dikalangan umat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat kaum imperalis menjadi gempar dan cemas. Akhirnya majalah itu ditutup pemerintah Prancis dikala majalah itu baru terbit delapan belas nomor.[37]
Dibidang politik kenegaraan, Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al Afgani. Al Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi.Oleh karena itu Abduh tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.[38]
Dalam soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas. Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang. Untuk itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.[39]
3) Pembaharuan Bidang Sosial Keagamaan
Menurut Muhammad Abduh, sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam.[40] Karena faham jumud inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan, umat Islam setatis tidak mau menerima perubahan dan umt Islam berpegang teguh tradisi.
Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan itu, Muhammad Abduh menerbitkan majalah al-Manar. Penerbitan majalah ini diteruskan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridla (1865-1935) yang kemudian menjadi tafsir Al-Manar.
Adapun pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh dibidang sosial keagamaan adalah :
1. Kemajuan agama Islam itu tertutup oleh umat Islam sendiri, umat Islam beku dalam memahami ajaran Islam, dihapalkan lapadznya tapi tidak berusaha mengamalkan isi kandungannya. Dalam hal ini ungkapan Abduh yang terkenal didunia yaitu “Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
2. Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. ”Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukan dirinya sebagai makhluk Allah yang tunduk berbakti kepada yang Maha Pencipta.
3. Untuk menyesuaikan dengan situasi modern saat ini perlu diadakan interpretasi baru dengan dibukanya pintu ijtihad. Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh malahan penting dan perlu diadakan tapi yang dimaksudnya bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad. Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al quran dan Hadis sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama-ulama lama tidak mengikut.
4. Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.[41]
III.V Murid-murid Muhammad Abduh Pembias Pembias Pemikiran Islam
1) RASYID RIDHA
Rasyid Ridha termasuk ulama Al-Azhar yang cukup dekat dengan Abduh,dengan demikian ide-ide pembaruannya mempunyai kemiripan.Tetapi Rasyid Ridha tidak mempunyai pemikiran seradikal Abduh, melainkan pemikiran yang controversial. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan pada tahun 1865 di Al-Qalamun,suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli.Tahun 1898, Ridha berkesempatan hijrah ke Mesir untuk memperdalam pengetahuan,sekaligus menggali langsung inti gerakan-gerakan Pembaruan di Mesir.Ketika ia di Mesir ini,ide-ide Abduh telah makin kental dalam membentuk pola berpikir Ridha.Rasyid Ridha banyak menyoroti masalah akidah islam hubungannya dengan praktik di tengah masyarakat Islam saat itu.Menurutnya,umat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya.Yaitu ajaran yang murni dari segala Bid’ah yang menggerogoti ajaran Tauhid. Seperti Abduh, Ridha juga menyorot paham fatalism (jabari) yang berakar kuat di tengah masyarakat telah memperlemah umat Islam. Ridha juga mengritik paham Tasawuf dan Tarekat yang ekstrem dan dianggap menjadi virus umat.karena ajaran inilah telah melemahkan semangat juang dan tanggung jawab mereka di dunia ini. Di dalam bidang pendidikan,Ridha juga sangat antusias mendukung program Abduh yang melakukan pemasukan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan milik umat islam. Di kaca mata lapangan sosial kenegaraan, Ridha masih memandang perlunya system kekhalifahan di dalam Negara Islam.
2) AL-SYAIKH MUSTAFA AL MARAGHI
Al-Maraghi disebut sebagai murid Muhammad Abduh yang terbesar di kalangan Al-Azhar. Atas usaha Muhammad Abduh, beliau mulanya diangkat menjadi kepala hakim Agama di Sudan dan kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar (1928-1930). Pada tahun 1930 dikeluarkan peraturan untuk memperbaiki keadaan lembaga itu, tetapi beliau mendapat tantangan keras dari kalangan yang anti perubahan. Karena pertentangan yang tidak menguntungkan,Al-Maraghi lebih banyak mencurahkan gagasannya dalam bentuk tulisan dan karangan.
3) QASIM AMIN
Qasim Amin menungkapkan pendapatnya di dalam bukunya Tahrir Al-Mar’ah yaitu umat islam mundur karena kaum wanita yang ada di Mesir dan merupakan setengah dari penduduk, tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Beliau menentang penentuan sepihak dari pria dalam soal perkawinan. Amin adalah ulama Al-Azhar pertama yang menentang pembelengguan wanita secara prinsip.
4) TAHA HUSAIN
Taha Husain adalah seorang pemikir islam modern yang dianggap amat radikal di kalangan Al-Azhar. Selesai dari madrasah di desa ia dikirim ke Al-Azhar,di sini beliau bertemu dengan ide-ide Abduh dan murid-muridnya, terutama Lutfi As-Sayyid.Taha Husain mendapat kritik dan tantangan keras, karena ide itu menghancurkan asar keyakinan pada keaslian syair jahiliah, dan kalau diterapkan pada hal-hal yang berlangsung bersangkutan dengan soal agama, akan merusak keyakinan orang terhadap islam.
5) SYAIKH ALI ABD.RAZIQ
Syaikh Ali Abd.Raziq termasuk tokoh pembaru yang gigih menegakkan cita-cita bagi rakyat Mesir. Usahanya yang kuat untuk memajukan rakyat mesir telah menempatkan beliau sebagai arsitektur Islam modern, terutama di bidang hukum islam. Menurut Abd.Raziq, sistem kekhalifahan dalam islam sebenarnya tidak ada. Alasannya baik Al-Quran maupun Hadits tidak pernah secara langsung menyinggung masalah ini.
6) SA’AD ZAGHUL
Sa’ad Zaghul merupakan tokoh nasionalis Mesir yang berusaha untuk memompa semangat keagamaan ke dalam ide pembaruan, juga mempunyai perhatian yang besar terhadap kemerdekaan bagi rakyat Mesir. Zaghul juga meneruskan sebagian ide Abduh, yaitu berusaha membatasi gerak otoriter khalifah.
7) LUTHFI SAYYID
Tahun 1889, ia belajar di Perguruan Tinggi Hukum Kairo dan menjadi murid Abduh. Ide Luthfi hamper sama dengan Zaghul. Beliau mempunyai cara lain dalam membangun kekuatan umat islam saat melawan Inggris. Sikap konfrontasi langsung menurutnya tidak terlalu menguntungkan.
8) SYEKH KHALID MUHAMMAD KHALID
Beliau mengarang salah satu buku yang menghebohkan Mesir, terutama Al-Azhar yang berjudul From Here We Start. Khalid banyak mengemukakan ide-ide pembaruan yang sehaluan dengan presiden Nasher. Salah satunya mengkritik sikap hidup sebagian besar para ulama yang tidak berbeda dengan cara hidup Kristen dalam kependetaan. Ia juga mengkritik kehidupan bernegara dengan system kekhalifahan, karena menurutnya tidak efektif. Khalid juga mendukung upaya pemerintah yang berhubungan dengan keluarga berencana.[42]
[1] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), cet ke-2, h. 155, lihat juga Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 51.
[2] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 56.
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada, 1994), h. 280
[4] Ali Mufrodi, op.cit, h. 156
[5] Ibid. h. 157
[6] Ali Mufrodi, op.cit, h. 157-158
[7] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 281
[8] Ibid, h. 282-283, lihat juga Harun Nasution h. 54
[9] Harun Nasution, op. cit., h. 56
[10] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 285
[11] Ibid, h. 287
[12] John J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah (Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta : Rajawali, 1984) h. 25
[13] J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 294
[14] Ali Mufrodi, op.cit, h. 159
[15] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (diterjemahkan dari A History of The Arab Peoples), Bandung : Mizan, hal. 586
[16] Nanang Tahqiq, Politik Islam, (Jakarta : Kencana, 2004) h. 212
[17] Al-Afghani dalam “Masa Lalu Umat dan Masa Kininya, serta Pengobatan bagi Penyakit-Penyakitnya” dalam Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 332 dst.
[18] Abdurahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik, h. 94
[19] Ensiklopedi Islam, h. 200
[20] Ibid, h. 2003
[21] Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid , h.18
[22] Ensiklopedi Islam, h. 256
[23] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan gerakan, h. 66
[24] Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Abdurahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik, h. 4
[25] Abdurahman Mas’ud, Menggaas format Pendidikan Non Dikotomik ,h. 4
[26] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, h. 301
[27] Ibid, h. 301
[28] Ibid, h. 301
[29] Ensiklopedi Islam, h. 204
[30] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, h. 301-302
[31] Ibid , h. 302
[32] Ensiklopedi Islam, h. 255
[33] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 61
[34] Ibid, h. 61
[35] Ibid, h. 61
[36] Ensiklopedi Islam, h. 256
[37] Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, h. 20
[38] Ensiklopedi Islam, h. 257
[39] Ibid, h. 257
[40] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, h. 62
[41] Rusni, Kemuhammadiyahan, h. 22
[42] Abdul Sani, Perkembangan Mordern dalam Islam, Penerbit, Kota, tahun, hlm. 62-80.
-->
Comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar