Ekonomi Islam - Sumber Hukum Ekonomi Islam - FE UII - ringkasan 1



Jadi disini saya akan menyajikan bagaimana sumber hukum ekonomi islam diperoleh, utamnya adalah dari dasar yaitu Al-Quran Al Hadist dan Ihtijad, tentu yang menjadi pedoman utama adalah Al-Quran dan Al Hadist, semoga bermanfaat

Para ulama, khususnya yang berfaham ahlusunnah wal jama’ah bersepakat bahwa sumber hukum dalam islam adalah Al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Dasar penggunaan 5 dalil ini terdapat pada Al Qur’an dan Al Hadits. Landasan dalam Al Qur’an terdapat dalam surah An-nisa ayat 59, yaitu; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka berkembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya.
 Hal ini tentunya berlaku bagi kegiatan ekonomi, yakni ekonomi yang berasaskan syari’ah atau ekonomi islam. Tentu di dalam ekonomi islam terdapat sumber hukum yang mendasari ekonomi islam. Kedudukan Al Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al Qur’an.
Demikian juga sesuai dengan kedudukan Al Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al Qur’an maka harus sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Hal ini berarti sumber-sumber hukum selain Al Qur’an tidak boleh menyalahi apa pun yang telah ditetapkan Al Qur’an.
Kekuatan hujjah Al Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum syariah termasuk di dalamnya syariah perekonomian terkandung dalam Al Qur’an yang memerintahkan manusia mematuhi Allah SWT. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa pun yang difirmankan-Nya dalam Al Qur’an.
Sehingga dalam setiap penarikan dan pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh seluruh umat manusia.
  Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi syariah. Di dalamnya dapat ditemui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli yang tertera pada surat Al-Baqarah ayat 275: “…..padahal Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
              Contoh lain seperti perintah mencatat atau pembukuan yang baik dalam masalah utang-piutang, Allah ungkapkan di surat Al-Baqarah ayat 282: “Wahai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”
                   Berikutnya merupakan contoh surah-surah yang mengatur ekonomi islam, Surah al-Maidah ayat 2 yang menunjukkan Ayat Tentang Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi, Menciptakan Kesejahteraan Agama dan Sosial. berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. Selanjutnya adalah ayat yang menunjukkan tentang kewajiban untuk bekerja yakni Al-Jumu’ah ayat 10, yaitu apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
              As-sunnah secara harfiah berarti cara, adat istiadat, kebiasaan hidup yang mengacu pada perilaku Nabi SAW yang dijadikan teladan. Suatu sunnah harus dibedakan dari hadist di mana hadist merupakan cerita sangat singkat, dan pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan yang tidak disteujui oleh Nabi Muhammad SAW. Macamnya sendiri ada Sunnah Qauliyah, adalah ucapan lisan Nabi Muhammad SAW yang didengar dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun bukan merupakan wahyu Al Qur’an. Sunnah Fi’liyah adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW. Sunnah Taqririyah yakni seorang sahabat melakukan suatu perbuatan atau perkataan dimana Nabi mengetahui apa yang dilakukan namun Nabi tidak menyanggahnya.
              Dasar hukum hadist atau sunnah sebagai rujukan setiap persoalan termasuk dibidang manajemen setelah Al Qur’an Al Hasyr ayat 7: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Abdul Mannan menegaskan bahwa kini tiba saatnya untuk menafsirkan dan menginteprestasikan hadist tidak semata-mata dalam bentuk harfiah, tetapi juga dalam jiwanya. Penafsiran hadists dan sunnah harus memerhatikan perspektif sejarah, oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang berkembang secara cepat penafsiran kitab Al Qur’an dan As Sunnah harus menjadi tuntunan bagi pemahaman dan tidak untuk formalism semata.
            Begitu halnya dengan ekonomi, As-Sunnah adalah sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. Di dalamnya dapat kita jumpai khazanah aturan perekonomian Islam, di antaranya seperti sebuah hadits yang isinya memerintahkan untuk menjaga dan melindungi harta, baik milik pribadi maupun umum serta tidak boleh mengambil yang bukan miliknya, ”…..Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian, (mengambil) harta kalian, (mengganggu) kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini….” (HR. Bukhari).
            Contoh lain misalnya As-Sunah juga menjelaskan jenis – jenis harta yang harus menjadi milik umum dan untuk kepentingan umnum, tertera pada hadis:” Aku ikut berperang bersama Rasulullah, ada tiga hal yang aku dengar dari Rasulullah: Orang – orang muslim bersyarikat (sama – sama memiliki) tempat penggembala, air dan api” (HR. Abi Dawud)
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengtakan “tidak tahu” dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha dengan sungguh – sungguh untuk menelitinya dan tidak boleh mengatakan “aku tahu” seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu sebelum ia mencurahkan kemampuan dan mendapatkan hukum itu.
Beberapa macam ijtihad, antara lain :
  • Ijma', kesepakatan para-para ulama
  • Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
  • Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
  • 'Urf, kebiasaan
Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
  • Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
  • Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Comments

Popular posts from this blog

Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh (tokoh-tokoh penting Muslim)

Company Visit HMJA KOMISI FE UII 2014/2015

Unggah Ungguh Basa Jawa